🦀 Lebih Baik Menyalakan Lilin Daripada Mengutuk Kegelapan

WARTAKOTA, PALMERAH - "It is better to light a candle than curse the darkness." Peribahasa tersebut secara harfiah memiliki arti "Lebih baik menyalakan sebuah lilin daripada mengutuk kegelapan". Lebihbaik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan!!! Laman. beranda; gallery; Sastra; Selasa, 14 Juni 2011. Mengembalikan Grub Ubuntu Yang Tertimpa Wind*** Mengembalikan Grub Ubuntu yang Hilang Tertimpa Windows baik itu ubuntu 9.10 maupun versi selanjutnya dan juga windows xp, windows 7 maupun windows yang lainnya. Ya memang windows 1Daripada Mengutuk Kegelapan Lebih Baik Menyalakan Chadipa Untuk Menerangi Jalan2 tentangkami C(h)adipa adalah obor dari bambu, berasal dari bahasa s Author: Ida Wibowo 69 downloads 200 Views 7MB Size Karenamenyalakan lilin itu jauh lebih baik daripada mengutuk kegelapan". Kalimat ini menutup testimoninya dan dijadikan sebuah poster resmi BNPB. Namun, masalahnya Ruang Guru miliknya mendapatkan sekian triliun untuk mengerjakan proyek pelatihan prakerja, khususnya mereka yang terdampak COVID-19. Lebihbaik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan Dapatkan link; Facebook; Twitter; Pinterest; Email; Aplikasi Lainnya - Mei 11, 2014 Ilmu adalah sinar yang dapat mengeluarkan seseorang dari kegelapan, ilmu bagaikan penunjuk jalan agar kita bisa meraih kejayaan dan kesuksesan. Bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki tradisi BANDUNG MUSEUM KAA - Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan. Peribahasa ini agaknya cocok menggambarkan keadaan yang dipaparkan penulis buku Astrid Savitri dalam acara diskusi literasi bertajuk 'Menggali Pundi-pundi Lewat Tren Media Sosial', Sabtu pagi (5/10/2019) yang digelar dalam rangkaian acara PLAA ke-6 di Museum MotivasiHari ini, esok dan seterusnya. Lebih baik menyalakan lilin "daripada mengutuk kegelapan; Sebuahpepatah mengatakan "Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan".Daripada kita mengutuk kegelapan dengan terus-terusan menyalahkan kaum alay yang merusak sistem tata bahasa kita melalui 'kreativitas' mereka atau dengan terus-terusan menggerutu lantaran generasi muda kita menulis dan berbicara ala gaul di tengah acara formal, sebaiknya kita menyalakan lilin dengan lebihbaik menyalakan lilin, daripada mengutuk kegelapan. sama halnya dengan rasa dalam hati. karena, lebih baik mencintai, daripada membenci yang hanya akan menghilangkan cinta.-Nam-Diposting oleh Kamis, Januari 02, 2014 1 komentar: Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! hpZlC. – “It is better to light a candle than curse the darkness” Peribahasa tersebut secara harfiah memiliki arti “Lebih baik menyalakan sebuah lilin daripada mengutuk kegelapan”. Peribahasa ini telah terkenal sekali di seluruh dunia. Presiden Amerika John F Kennedy pun pernah menggunakan dalam pidatonya. Di Indonesia, peribahasa ini pun kembali terkenal semenjak Anies Baswedan menggunakannya sebagai tagline dalam program Indonesia Mengajar. Sebuah program yang mengirimkan sarjana-sarjana pintar ke pelosok Indonesia untuk membantu peningkatan mutu pendidikan di negara ini. Dalam konteks Pemerintahan Daerah, penulis begitu tergelitik ketika salah satu Pemimpin Daerah di negeri ini menyampaikan hal tersebut sebagai motto dalam menjalankan Pemerintahannya. Dalam sebuah pertemuan dengan masyarakat, KH DR M. Idris Abdul Somad Wakil Walikota Depok 2011-2016 dan Walikota Depok terpilih 2016-2021 begitu gamblang mengulas tentang peribahasa tersebut hingga menginspirasi masyarakat yang hadir termasuk penulis. Rupanya materi peribahasa ini menjadi bahan diskusi inspiratif dan solutif bagi kita semua warga yang kini tengah menantikan kiprah kepemimpinan para pemimpin daerah yang akan dilantik di daerahnya masing-masing. Pilkada serentak, kini telah kita lalui. Beragam fenomena, dinamika, paradigma dan spektrum politik dapat menjadi pembelajaran berharga bagi kita semua. Salah satu paradigma yang masih sering terjadi adalah budaya dan kesenangan kita yang selalu mengeluh, mencaci, merasa tidak puas, menyalahkan bahkan ?mengutuk? kebijakan pemimpin tanpa memberikan solusi dan tidak menyelesaikan masalah tersebut. Dalam hidup bermasyarakat, kita begitu mudah menyalahkan orang lain atas kekurangan yang ada di hidup ini. Tapi seringkali kita lupa bercermin kalau kita belum berbuat sesuatu untuk hidup ini, atau ketika ada masalah kita selalu menyalahkan faktor eksternal. Tanpa kita sadari apa yang kita lakukan tersebut takkan bisa mengubah situasi. Kita cuma ibarat komentator sepakbola yang sebenarnya juga tak bisa bermain bola dengan baik. Tidak sedikit dari kita yang tersibukkan dengan mengamati pekerjaan orang lain, bukan untuk mengambil ibroh/pelajaran atau membantu menyelesaikan pekerjaannya tetapi justru untuk menunggu kapan orang itu terpeleset dalam kekeliruan atau melakukan kesalahan sehingga ia bisa segera mengkritik dengan kritikan yang tidak jarang melebihi batas yang proporsional mengecam pekerjaan orang tanpa memberinya solusi juga tidak jarang hanya akan merenggangkan persaudaraan. Padahal agama telah mengajarkan kita bahwa Beruntunglah orang yang disibukkan dengan mengintrospeksi aib dirinya sehingga tidak sempat mencari-cari aib saudaranya. Mengutuk, meratapi, mengeluh, menyalahkan atau apapun istilah lainnya dengan konotasi yang sama memang mudah dilakukan. Tapi persoalannya kini, apakah setelah kita mengutuk sesuatu maka keadaan itu langsung berubah? Dari pengalaman hidup kita, mengeluh tidak mendatangkan apa-apa kecuali ketenangan batin yang semu. Ibaratnya ketika menutup mata, semua bayangan dunia menjadi tak terlihat termasuk dengan problema yang kita alami, namun dunia akan tetap sama entah ketika menutup atau membuka mata. Jika di suatu malam listrik di rumah kita mati apa yang akan kita lakukan? Apa kita akan menggerutu dan mengutuk PLN yang melakukan pemadaman? Jika begitu, apa kondisi berubah? Tentu tidak, yang ada kita capek sendiri. Tentu yang harus kita lakukan adalah menyalakan lilin. Walaupun tak seterang lampu, tapi setidaknya dengan menyalakan lilin kita masih bisa melihat seisi ruangan walau redup. Ibaratnya ketika kita berada dalam kegelapan, sampai berbusa mulut kita mengumpat dan mengutuk, tak akan ada perubahan sampai kita menyalakan sebatang lilin atau alat penerangan lainnya. Berbuat lebih baik daripada sekedar berkata-kata, walaupun dengan kata-kata itu hati dan pikiran cenderung menjadi tenang karena emosi sedikit tersalurkan tetapi jauh lebih baik dan berbahagia kalau masalah itu bisa kita selesaikan sendiri. Walaupun sebatang lilin kecil yang menyala, itu sudah cukup membuat perbedaan dibandingkan kita berdiam diri dalam kegelapan. Menyalakan lilin mungkin contoh yang sederhana, simple dan tak terlalu merubah banyak. Tapi setidaknya berkontribusi memberikan cahaya di tengah kegelapan. Dalam hidup pun rasanya kita harus memberikan cahaya walau bentuknya sederhana, entah lewat tenaga, materi, atau ide. Mari kita sambut kiprah para pemimpin daerah dengan menjadikan diri kita masing-masing sebagai lilin-lilin yang mampu menerangi bagian dari ruang kerja dan kehidupan yang sesuai kapasitas dan sekuat kemampuan yang kita miliki. Insya Allah dari satu lilin, seratus atau seribu lilin tersebut bisa menerangi seluruh ruang hidup kita. Mengutuk kegelapan tidak akan menjadikan gelap sirna tetapi justru menambah pengapnya suasana hati. Imam Al-Ghazali pernah mengingatkan bahwa salah satu kunci kebahagian hati di dunia adalah dengan selalu pandai bersyukur. Sikap syukur yang paling sederhana, mudah, ringan tapi agak sulit dilakukan adalah ?tidak pernah mengeluh dalam keadaan apapun di semua lini kehidupan kita?. Muhammad Fahmi, ST, MSi Pemerhati masalah Sumber Daya Manusia dan masalah Tematik Bangsa Kandidat Doktor Program Studi Manajemen Sumber Daya Manusia Universitas Negeri Jakarta UNJ Master of Ceremony MC, Trainer Publik Speaking/Kehumasan Salam Merah Mempesona Menggelitik Hati fahmizidane2003 WA 08158228009 Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Lebih baik menyalakan lilin betapa kecil pun cahayanya dari pada mengutuki kegelapan. Itu petuah klasik untuk membangkitkan semangat hidup, agar senantiasa tegar betapa pun beratnya tantangan yang kita ketika yang dipermasalahkan adalah pemadaman listrik yang berkepanjangan di Sumut, petuah lama itu bisa tak laku bagi orang yang merasa teraniaya saat lampu padam mendadak saat sedang asyik nonton tv, kutak-katik komputer, atau saat baru saja menanak nasi di magic-com. Lampu listrik padam bagi remaja pacaran mungkin menyenangkan, menambah indahnya suasana romantisme. Tapi, tentu tidak bagi pelanggan yang menjadikan listrik bagian vital dari geliat kehidupan berbisnis atau kemerfekaan menikmati hidup terang listrik padam- bisa pagi, siang, atau tengah malam- warga menyalakan lampu alternatif kalau ada, atau menyalakan lilin. Tapi, bisa dimaklumi saat seseorang menyalakan lilin karena lampu padam jelang tengah malam, mulut pun komat kamit melontarkan sumpah serapah atau caci maki mengutuki kegelapan. Sudah 68 usia republik ini, barulah di era reformasi modern ini pemadaman listrik makin menggila, keluh seorang warga Kota Tarutung, seraya mempertanyakan pernyataan petinggi PLN bahwa pemadaman listrik di Sumut hanya sampai Maret 2014. Nyatanya awal April ini pemadaman masih ada meski frekuensi pemadaman tak segencar protes? Mau demon? Mau caci maki? Itu mah percuma. Soalnya PLN boleh tak merasa bersalah apa lagi berdosa, karena krisis listrik memang benar bukan dikarang-karang. Tapi bahwa PLN lamban bikin terobosan solution, mungkin bisa juga. Kan tak logis orang PLN senang dimaki, tak mungkin orang PLN tega mendengar orang mengutuk kegelapan seraya menyalakan krisis listrik entah hingga kapan berujung, sudah bagaimana kabarnya kinerja Sarulla Operation Lestari SOL yang tengah mengelola pembangkit listrik tenaga panas bumi di Kecamatan Pahae Jae Kabupaten Tapanuli Utara. Proyek berskala raksasa itu lama terkatung-katung sejak terbitnya Keppres No 5 Tahun 1998 akibat krisis moneter. Baru dua tahun terakhir mulai direalisasi lagi, walau operasional terkesan bumi Sarulla salah satu potensi faktual yang dapat memadamkan panas nya suhu kemarahan rakyat yang merasa tekanan darahnya sering tak beraturan gara-gara pemadaman listrik tak beraturan belakangan ini. Lihat Kebijakan Selengkapnya WARTA KOTA, PALMERAH - “It is better to light a candle than curse the darkness.” Peribahasa tersebut secara harfiah memiliki arti “Lebih baik menyalakan sebuah lilin daripada mengutuk kegelapan”. Peribahasa ini telah terkenal sekali di seluruh dunia. Presiden Amerika John F Kennedy pun pernah menggunakan dalam pidatonya. Di Indonesia, peribahasa ini pun kembali terkenal semenjak Anies Baswedan menggunakannya sebagai tagline dalam program Indonesia Mengajar. Sebuah program yang mengirimkan sarjana-sarjana pintar ke pelosok Indonesia untuk membantu peningkatan mutu pendidikan di negara ini. Dalam konteks pemerintahan daerah, penulis begitu tergelitik ketika salah satu pemimpin daerah di negeri ini menyampaikan hal tersebut sebagai motto dalam menjalankan pemerintahannya. Dalam sebuah apel pagi dan berita media lokal, KH DR M Idris Abdul Somad, Wakil Walikota Depok 2011-2016 dan Walikota Depok terpilih 2016-2021 begitu gamblang mengulas tentang peribahasa tersebut hingga menginspirasi para peserta apel pagi termasuk penulis. Rupanya materi peribahasa ini menjadi bahan diskusi inspiratif dan solutif bagi kita semua warga yang kini tengah menantikan kiprah kepemimpinan para pemimpin daerah. Pilkada serentak kini telah kita lalui. Beragam fenomena, dinamika, paradigma dan spektrum politik dapat menjadi pembelajaran berharga bagi kita semua. Salah satu paradigma yang masih sering terjadi adalah budaya dan kesenangan kita yang selalu mengeluh, mencaci, merasa tidak puas, menyalahkan bahkan “mengutuk” kebijakan pemimpin tanpa memberikan solusi dan tidak menyelesaikan masalah tersebut. Dalam hidup bermasyarakat, kita begitu mudah menyalahkan orang lain atas kekurangan yang ada dalam hidup ini. Tapi seringkali kita lupa bercermin kalau kita belum berbuat sesuatu untuk hidup ini, atau ketika ada masalah kita selalu menyalahkan faktor eksternal. Tanpa kita sadari apa yang kita lakukan tersebut takkan bisa mengubah situasi. Kita cuma ibarat komentator sepakbola yang sebenarnya juga tak bisa bermain bola dengan baik. Tidak sedikit dari kita yang tersibukkan dengan mengamati pekerjaan orang lain, bukan untuk mengambil ibroh/pelajaran atau membantu menyelesaikan pekerjaannya tetapi justru untuk menunggu kapan orang itu terpeleset dalam kekeliruan atau melakukan kesalahan sehingga ia bisa segera mengkritik dengan kritikan yang tidak jarang melebihi batas yang proporsional. Mengecam pekerjaan orang tanpa memberinya solusi juga tidak jarang hanya akan merenggangkan persaudaraan.

lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan